“Harga minyak yang turun juga membuat turunnya minat investasi di Indonesia. Lapangan kerja yang tadinya besar-besaran, kini mengecil karena produksi terpaksa harus diturunkan,” kata Marjolijn Majong Executive Director, Indonesia Petroleum Association (IPA) pada Media Briefing GE Oil & Gas 12 Mei lalu.
“Belum lagi ada peraturan yang masih menyulitkan pelaku industri,” tambahnya. “Ada beberapa aturan yang sebenarnya bagus, tapi tidak memikirkan competitiveness Indonesia di mata investor. Investor kan bisa memilih, mau di Indonesia atau negara lain. Kita (pelaku industri) bisa bekerja sama untuk menghasilkan peraturan yang saling menguntungkan.”
Dengan masalah harga jual yang rendah, tingkat investasi yang menurun, peraturan yang terkadang menyulitkan, ditambah lagi dengan gencarnya dukungan pada energi terbarukan, masihkah industri migas relevan dengan keadaan masa kini? Dapatkan industri migas di Indonesia bertahan?
Berly Martawardaya, ekonom energi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), berpendapat bahwa meskipun ada banyak tantangan, industri migas di Indonesia masih punya kesempatan besar untuk berkembang.
“Kalau kita lihat, harga minyak mulai naik sedikit demi sedikit. Salah satunya karena faktor geopolitik,” jelas Berly. “Saudi Arabia sudah sedikit mundur, sehingga kini supply minyak dari mereka tidak berlebihan. Konflik timur tengah dan tensi antara Amerika Serikat dan Korea Utara juga meningkat, sehingga ada kekhawatiran terhadap logistik yang mengakibatkan naiknya harga.”
Tak hanya itu, proses deregulasi di Indonesia juga dianggap mulai memicu adanya investasi baru, meskipun mungkin belum secepat yang diharapkan pelaku industri, tapi pemerintah terlihat jelas mendukung majunya industri ini.
“Apalagi ditambah dengan demand yang masih tinggi,” kata Berly. “Lihat saja, kalau penjualan motor ada lima juta per tahunnya, mobil sekitar satu juta, demand akan terus meningkat untuk bahan bakar minyak.”
Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh pelaku industri untuk menjawab tantangan industri migas saat ini?
Berly berpendapat jika yang paling mungkin dilakukan adalah meningkatkan efisiensi.
“Bisa pakai teknologi yang lebih efisien atau mixed SDM (sumber daya manusia) yang lebih optimal,” ujarnya. “Selama ini penggunaan ekspatriat dalam industri migas Indonesia masih membutuhkan biaya yang mahal. Dengan mixed SDM dari dalam dan luar negeri yang lebih seimbang, operational cost bisa ditekan.”

Iwan Chandra, CEO GE Oil and Gas, menambahkan bahwa efisiensi dari penggunaan teknologi merupakan jalan termudah saat ini untuk menjamin keberlangsungan industri migas.
“Kalau harga turun dan revenue yang diterima perusahaan menjadi hanya setengah, sementara production cost tidak bisa dipotong, apa yang bisa dilakukan?” ujarnya. “Jawabannya adalah teknologi yang membuat lebih efisien melalui digitalisasi: pengunaan internet untuk industri, penggunaan sensor yang tepat, big data analytics, dan lain-lain.”
“Teknologi digital membuat semua aspek lebih efisien, meningkatkan produksi dan keawetan mesin sesuatu yang tidak bisa dilakukan secara manual. Dengan teknologi GE saat ini, kita bahkan bisa mensimulasikan kegagalan mesin, mencetak spareparts dengan printer 3D, serta memangkas waktu untuk riset secara signifikan. Ditambah lagi, dengan sistem prediksi, pelaku industri bisa menghemat biaya, misalnya saja untuk maintenance. Sistem ini akan memberitahu kapan saat yang tepat untuk melakukan maintenance, hanya bila dibutuhkan. Jadi tidak perlu rutin, hanya karena takut ada apa-apa. Lebih efisien dan hemat, bukan?”.