Jalan menuju dekarbonisasi penuh dengan tantangan. Sumber energi terbarukan seperti angin dan sinar matahari hanya dapat memasok daya dalam waktu-waktu tertentu sehingga membutuhkan adanya jaringan yang lebih kuat, sistem penyimpanan daya yang mahal, dan pembangkit listrik fleksibel untuk melengkapinya. Dari sudut pandang lingkungan, penggunaan tenaga air perlu dipikirkan secara mendalam pengembangannya. Di sisi lain, penggunaan biomassa masih baru pada tahap awal dan tetap menjadi sumber daya yang tidak efisien.
Masalah ini menjadi sangat serius di Indonesia. Sebagai negara terbesar keempat di dunia dengan perekonomian yang bertumbuh pesat, Indonesia sedang berada di persimpangan jalan dan harus mempertimbangkan masak-masak antara keberlanjutan dan kebutuhan energi untuk menggerakkan perekonomiannya. Inilah yang memunculkan suatu pemikiran ulang tentang sistem energinya demi mengantisipasi permintaan energi di masa depan.
Ketika berbicara di acara diskusi virtual dengan topik ‘Pathways to Faster Decarbonization with right blend of Gas and Renewables’ yang diadakan oleh GE Gas Power, Som Shantanu, Asia Engineering Director, GE Gas Power Asia, mengatakan bahwa untuk memastikan terjadinya transisi energi di Indonesia, pendekatan yang diambil harus fleksibel dan dinamis. Artinya, kita harus memprioritaskan pembangkit listrik bertenaga gas daripada batu bara. Dengan demikian, kita harus menggantikan turbin batu bara yang sudah harus diistirahatkan dengan gas turbin berefisiensi tinggi (HA) yang mengunakan ‘combined cycle technology’. Itulah sasaran yang dapat dicapai dan dapat menentukan terjadinya keseimbangan optimal antara gas dan bauran energi terbarukan. Pada saat yang sama, dibutuhkan penjajakan atas berbagai campuran hidrogen sebagai bauran bahan bakar. Itulah sasaran jangka pendeknya. Hal inilah yang memungkinkan Indonesia untuk mulai melakukan perjalanan menuju dekarbonisasi, sambil memberi ruang untuk melakukan perencanaan bagi penataan daya listrik di masa depan.
“Di saat kita melakukan perjalanan dekarbonisasi, faktor penentunya adalah membuat sektor daya listrik dan berbagai sektor yang tergantung pada energi untuk perlahan-lahan beralih ke teknologi tanpa karbon, atau melakukan upaya untuk mengurangi emisi,” kata Shantanu.
Dia menjabarkan tiga langkah yang bisa diambil oleh Indonesia untuk mencapai berbagai sasaran energinya, yakni perbaikan elektrifikasi di kawasan pedesaan, transisi menuju ke suatu basis daya terpasang yang hampir tanpa karbon, dan pengembangan suatu ekosistem energi yang mendukung di seluruh pelosok negeri.
“Akses ke tenaga listrik di Indonesia sangat tinggi, yakni 99,2%, dan kawasan yang belum mendapatkan pasokan listrik sebagian besar berupa pedesaan yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Ada ruang untuk perbaikan di sana, dan kita bisa berbuat lebih banyak lagi untuk memberikan akses menuju ke tenaga listrik dengan biaya yang lebih terjangkau dan lebih bersih kepada masyarakat yang sampai sekarang belum dapat menikmatinya,” tambahnya.
Satu cara untuk melakukan hal ini adalah melalui grid firming, yakni memperkenalkan energi gas sebagai pelengkap dari sumber energi terbarukan seperti angin dan sinar matahari. Ini bisa dicapai melalui inovasi pembangkit listrik bertenaga gas yang lebih bersih dan efektif dan bisa membantu terjadinya transisi menuju sasaran emisi yang hampir tanpa karbon.
“GE adalah pemain utama dalam pembangkit listrik di Indonesia, khususnya dalam bidang pembangkit listrik bertenaga gas. Sebenarnya, kami sedang mengembangkan turbin gas (HA) pertama yang sangat efisien di negara ini, dan turbin tersebut dapat membakar hingga 60% hidrogen,” kata Som, sambil menambahkan bahwa “teknologi turbin gas GE dapat memasok sekitar 30% dari seluruh energi listrik di negara ini.”
Dipilihnya pembangkit listrik bertenaga gas oleh Indonesia merupakan perubahan yang menggembirakan, karena hal ini membawa negara ini selangkah lebih dekat menuju transisi ke pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan. Meski demikian, sebagian besar Indonesia masih menggunakan listrik bertenaga batu bara, dan pembangkit listrik bertenaga batu bara saat ini mencapai sekitar 58% dibandingkan dengan 20% penggunaan pembangkit bertenaga gas dalam bauran pembangkitan listrik di negara ini. Penggunaan gas ini bisa dioptimalkan lebih lanjut sebagai sasaran jangka pendek dalam perjalanan bangsa ini menuju ke era tanpa karbon.
Solusi ini harus mampu memfasilitasi transisi energi, sekaligus membuat daya listrik terjangkau harganya, berkelanjutan dan dapat diandalkan.
Jawabannya terletak pada pemikiran strategis untuk mengubah pembangkit bertenaga batu bara yang ada saat ini dan menjadikannya pembangkit bertenaga gas yang sangat efisien. Saat ini saja, 44% dari pasokan listrik terpasang berasal dari batu bara, dan sekitar 4GW diperkirakan akan dipensiunkan dalam waktu 10 tahun lagi. Bauran pembangkitan listrik di negara ini masih rendah dalam penggunaan gas dan sumber energi terbarukan. Semua ini menandakan adanya warisan masa lalu yang dapat dijadikan pijakan untuk melakukan lompatan ke depan.
Menurut Shantanu, bauran energi terbarukan dan penggantian pembangkit bertenaga batu bara ke pembangkit bertenaga gas dapat memberi Indonesia keuntungan tersendiri dalam hal transisi energi. Masih ada berbagai opsi yang masih dapat dijajaki, antara lain penempatan pembangkit tenaga energi terbarukan yang didukung dengan suatu kombinasi coal-to-gas switching, penempatan pembangkit bertenaga gas baru, dan peningkatan efisiensi pada pembangkit bertenaga gas yang sudah ada.
Dia juga memuji adanya pemikiran yang maju dari para pembuat kebijakan yang telah membuat komitmen serius untuk memungkinkan terjadinya suatu ekosistem energi yang holistik demi mengurangi jejak karbon negara ini di masa depan. Pemerintah mengumumkan tahun lalu bahwa Indonesia berupaya untuk menghasilkan pasokan energi yang 23%-nya berasal dari sumber daya terbarukan pada tahun 2025.
“Masih ada ketergantungan pada batu bara dalam bauran pembangkitan tenaga listrik di Indonesia. Itulah sebabnya dibutuhkan upaya besar untuk mencapai sasaran yang relatif mudah dicapai, khususnya dalam hal mengkonversikan pembangkit bertenaga baru bara ke pembangkit bertenaga gas,” tambahnya.
Menegaskan pernyataan tersebut, Eka Satria, CEO Medco Power Indonesia, menekankan bahwa kebijakan pendukung harus dilengkapi dengan teknologi yang tepat dan alternatif energi yang relevan serta sesuai dengan kondisi Indonesia. Dia menambahkan bahwa target yang telah ditetapkan oleh pemerintah cukup tinggi, dan karena itu masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapainya.
“Pertumbuhan penggunaan energi terbarukan kita saat ini sekitar 4% ke 5% per tahun. Bila melihat pada target yang sudah ditetapkan, maka kita harus bertumbuh sebesar 11% hingga 15%. Itulah sebabnya para pelaku industri harus melakukan sesuatu yang berbeda untuk mencapai target tersebut. Semakin awal kita bertindak, semakin cepat kita dapat mewujudkan agenda transisi energi Indonesia,” katanya.
Saat ini, Indonesia sedang menghadapi tantangan dan peluang. Bangsa ini harus mencapai kemakmuran ekonomi tanpa terjerumus dalam jejak langkah yang sarat karbon dari negara-negara industri di masa lalu. Langkah pertama yang harus diambil adalah dengan memenuhi permintaan energi dan mempersiapkan diri untuk terjadinya peningkatan tajam di masa depan. Agar dekarbonisasi menjadi sangat efektif dalam mengurangi emisi CO2, dibutuhkan adanya suatu perpaduan strategi dinamis yang melibatkan sumber daya terbarukan dan sekaligus dilakukan perubahan dalam struktur sumber bahan bakar. Dengan berinvestasi dan mengembangkan sumber daya energi yang lebih bersih, Indonesia dapat menjadi contoh dan panutan bagi negara-negara berkembang.