Seiring berkembang pesatnya teknologi energi terbarukan, transisi energi globalpun bergerak sama cepatnya. Tiga tren besar dalam sektor energi yang dikenal sebagai tiga D’s, yakni dekarbonisasi, digitalisasi dan desentralisasi, juga sudah merambah dengan kecepatan tinggi di seluruh penjuru dunia.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pemerintah belum lama ini telah menetapkan sebuah target yang ambisius: memastikan bahwa 23% dari bauran energi di Indonesia berasal dari energi terbarukan. Sebagai salah satu perekonomian yang bertumbuh pesat di dunia, konsumsi energi negara ini diharapkan meningkat, terutama saat bangkitnya perekonomian di masa pasca-pandemi, peningkatan urbanisasi dan dengan konsistennya laju pertumbuhan jumlah penduduk.
Dekarbonisasi
Dekarbonisasi merupakan langkah pertama yang biasa dilakukan dalam upaya transisi energi. Memang, dampak dari pandemi Covid-19 menunjukkan adanya penurunan emisi dalam jangka pendek, namun Indonesia diharapkan melakukan penurunan volume emisi lebih lanjut. Tampaknya, Indonesia dapat melampaui berbagai target Perjanjian Paris yang telah ditetapkannya sebagaimana termuat pada Climate Action Tracker.
Meski demikian, sebagian besar jejak karbon Indonesia berasal dari berbagai segmen besar dalam perekonomiannya, seperti energi dan transportasi. Itulah sebabnya dalam sebuah diskusi virtual yang diselenggarakan oleh GE Gas Power dengan topik ‘Pathways to Faster Decarbonisation with Gas and Renewables’, Presiden Direktur PT Perusahaan Listrik Negara Zulkifli Zaini mengusulkan agar Indonesia mengupayakan dekarbonisasi pada segmen-segmen ini. Itu bisa dilakukan dengan mempromosikan penggunaan energi terbarukan dalam pembangkitan listrik, dan penggunaan kendaraan listrik (EV) serta sistem ‘vehicle-to-grid’ (V2G).
Sebuah penelitian tahun 2019 (2019 study) menunjukkan bahwa akhir-akhir ini EV mulai mendapatkan momentum di pasar Indonesia. Artinya, sistem V2G cocok diterapkan di sini. Teknologi V2G membuat energi dapat disalurkan lagi ke jaringan listrik dari baterai sebuah mobil listrik. Hal inilah yang dapat menyeimbangkan adanya beragam pola produksi dan konsumsi energi.
Prakarsa yang ditawarkan itu merupakan bagian dari rencana transformasi PLN yang lebih besar untuk mendorong penetrasi energi terbarukan atau ‘renewable energy’ (RE) di Indonesia. Hal itu mencakup pengembangan pembangkit listrik, sekaligus mempelajari dalam-dalam berbagai faktor seperti pasokan, permintaan, sumber daya dan keberlanjutan. Dengan demikian, terjadi percepatan dalam pengembangan energi terbarukan di daerah-daerah yang memiliki ketergantungan pada bahan bakar diesel sehingga dapat mengurangi ketergantungan tersebut. Selain itu, hal ini dapat menyuburkan kemitraan dan dukungan dari pemerintah dan para pemangku kepentingan sehingga investasi di sektor ini akan bertumbuh.
Berbicara di forum yang sama, Som Shantanu, Regional Engineering Director, GE Gas Power Asia, menegaskan pesan serupa dengan menyatakan bahwa “dekarbonisasi di sektor kelistrikan dan elektrifikasi di berbagai sektor yang memiliki ketergantungan pada energi akan memberi dampak terbesar pada emisi karbon di tingkat global.”
Dia mengusulkan adanya suatu strategi dinamis dalam penggunaan energi terbarukan dan energi gas demi mencapai sasaran dekarbonisasi Indonesia.
“Melulu menggunakan energi terbarukan atau gas tidak akan terlalu efektif untuk menghasilkan dekarbonisasi dengan kecepatan dan skala yang dibutuhkan untuk mencapai berbagai sasaran dalam Perjanjian Paris. Namun, bila digunakan bersama-sama akan menjadi suatu kombinasi yang sangat ampuh untuk mengatasi perubahan iklim dengan kecepatan dan skala yang dibutuhkan oleh dunia,” katanya.
Digitalisasi
Di seluruh dunia, sektor energi memang lebih lambat dari sektor lainnya untuk memanfaatkan nilai tambah dari teknologi digital. Namun, pandemi kali ini telah mendorong terjadinya percepatan dalam digitalisasi energi, terutama di saat berbagai perusahaan berlomba untuk menyesuaikan diri dengan peningkatan tajam yang terjadi dalam kegiatan online. Nantinya, ketika perekonomian global pulih, kita akan menyaksikan lagi peningkatan dalam berbagai kegiatan komersial dan industrial yang pada akhirnya akan meningkatkan permintaan akan energi yang harus dipenuhi dengan baik dan efisien.
Dalam presentasinya, Shantanu menyebutkan pentingnya digitalisasi pada agenda transisi energi, katanya: “teknologi digital menjadi faktor penentu yang memadukan semuanya, mengatur tatanan energi dunia melalui perangkat lunak.”
Dalam kondisi Indonesia, Zaini menggarisbawahi kebutuhan akan digitalisasi jaringan di saat kita mulai memanfaatkan perangkat internet untuk segalanya (IoT). Dia menunjuk pada kemajuan di bidang pengukur meter pintar, internet dalam energi, rumah pintar dan sensor pintar sebagai contohnya. Lebih lanjut Zaini menyatakan bahwa teknologi digital membantu mempercepat adopsi energi terbarukan dan memungkinkan Indonesia berhasil dalam mencapai berbagai sasaran terkait energi terbarukan. Teknologi digital sangat penting untuk diintegrasikan karena menjadi komponen utama dalam transisi energi.
Untuk meningkatkan efisiensi energi, Indonesia telah memberikan perhatian pada upaya untuk mengintegrasikan berbagai sistem online, yang akan memantau kemajuan dalam digitalisasi energi. Itulah sebabnya Kementerian Energi Republik Indonesia akan menerapkan rencana untuk mengukur dan memantau efisiensi energi di sektor komersial dan jasa yang keduanya menyumbangkan lebih dari 41,5% pada PDB Indonesia dan 6% pada seluruh konsumsi energi pada akhir tahun 2019.
Desentralisasi
Di saat berbagai industri pengguna energi terbesar mengubah tatanan konsumsi dan distribusi listrik, kita menyadari adanya kebutuhan yang mendesak untuk beralih dari sistem hub jaringan listrik yang besar dan terpusat. Bila seluruh sektor tergantung pada pasokan listrik dari sebuah sistem energi yang terpusat, maka itulah titik lemah yang dapat mendatangkan berbagai risiko pada negara ini.
Di Indonesia, kecenderungan konsumsi energi sekarang ini perlahan-lahan bergeser ke pembangkit berskala kecil, terutama di saat pemerintah terus berupaya untuk mengamankan sektor energi melalui desentralisasi pembangkit listrik. Dalam presentasinya, Zaini menyebut tren ini sebagai ‘demokratisasi dalam tata ekonomi energi’ sesuai dengan teknologi baru yang menghantar pada sistem penyimpanan daya yang terdistribusi, jaringan pintar dan mekanisme yang mengatur permintaan dan pemenuhannya. Pendeknya, dia berkata bahwa sistem energi yang terdesentralisasi akan membawa sumber daya listrik semakin dekat pada penggunanya.
Berbicara dalam diskusi panel di forum virtual tersebut, George Djohan, Country Leader GE Gas Power Indonesia, mendukung gagasan ini. Dia menambahkan bahwa sebuah sistem hibrida yang menggabungkan gas dan energi terbarukan dibutuhkan di Indonesia.
“Sumber daya gas jauh lebih fleksibel dan mudah disalurkan sehingga meniadakan sebagian besar permasalahan logistik yang ada di berbagai jenis sumber energi lainnya. Gas juga semakin kompetitif, khususnya dengan tersedianya tekonologi turbin yang jauh lebih efisien. Teknologi turbin ini dapat dengan cepat ditingkatkan untuk membantu memberikan keseimbangan pada jaringan dan memberikan stabilitas pada jaringan,” katanya.
Hal ini sangat penting mengingat geografis kepulauan Indonesia menjadi masalah dalam sistem kelistrikan yang terpusat. Sistem energi yang terdesentralisasi bisa jauh lebih murah dalam biaya pemasangan dan pengoperasiannya dibandingkan dengan daya listrik yang dihasilkan dengan sistem tersentralisasi. Hasilnya, kita akan mendapatkan banyak manfaat, seperti akses yang lebih baik, ketahanan, dan efisiensi.
Tiga D’s, yakni dekarbonisasi, digitalisasi dan desentralisasi, menjadi sebuah komponen penting bagi agenda transisi energi Indonesia. Namun, jalan menuju transisi tersebut tidak dapat dicapai sendirian. Sebagai penutup, semua pembicara dan panelis sepakat bahwa pemerintah harus bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan dalam industri terkait untuk mencapai visi tersebut.
Djohan mengungkapkan sentimen ini dengan tepat ketika berkata, “masa depan kita di Indonesia ini cerah, dan kerja sama erat antara pemerintah dan sektor swasta sangat dibutuhkan untuk mendorong keberhasilan dalam transisi energi ini.”