Banyak faktor yang membuat WNI kalangan menengah ke atas cenderung memilih negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sebagai tujuan nomor satu dalam mendapatkan perawatan medis. Teknologi yang maju dan tenaga medis yang dianggap lebih terpercaya menjadi satu faktor utama. Padahal untuk mendapatkan perawatan di sana, setiap pasien paling tidak mengeluarkan biaya sebesar S$10.000 hingga S$20.000 (bahkan lebih). Jika diakumulasikan setiap tahunnya, pemasukan rumah sakit di Negeri Singa dari pasien WNI mencapai Rp33-36 triliun!
Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa teknologi yang ditawarkan negara tetangga jauh lebih modern dan meyakinkan dalam hal promosi. Bahkan pasien bisa memperkirakan, berapa lama pengobatan akan berlangsung dan biaya yang akan dikeluarkan.
Kendala lain selain ketidaktersediaan teknologi terbaru adalah perbandingan populasi penduduk di Indonesia dengan jumlah kamar rumah sakit dan tenaga medis yang tersedia tidak sebanding. Situasinya saat ini di Indonesia, perbandingan tempat tidur rumah sakit yang tersedia per penduduk adalah 0,9 : 1000. Artinya, setiap 1000 orang penduduk, rumah sakit hanya bisa menampung tidak sampai 0.1%. Angka ini lebih buruk daripada di negara berkembang lain seperti Brasil dan Vietnam.
Sementara itu, angka tenaga medis per penduduk di Indonesia juga sangat rendah, 0.2% tenaga medis untuk setiap 1000 penduduk. Kendala ini juga dibuat makin buruk dengan terbatasnya teknologi rumah sakit yang tersedia untuk merawat pasien.
Dulu, Indonesia pernah dijuluki “negara tanpa jaminan sosial”. Namun, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, Presiden waktu itu Abdurrahman Wahid menyatakan Indonesia akan mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang kemudian disahkan oleh Presiden Megawati Soekarno Puteri empat tahun kemudian dalam Undang-Undang No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pada 19 Oktober 2004.
Sejak saat itu hingga awal tahun 2014 lalu, Indonesia mempunyai BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Selama 9 tahun, pemerintah mencoba memperbaiki fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia dengan dana yang masih terbatas. World Health Organization (WHO) merekomendasikan setiap negara setidaknya mengalokasikan minimal 5% dari GDP untuk anggaran kesehatan (rata-rata negara di dunia sudah mengalokasikan 10%). GDP di Indonesia tahun 2013 adalah 7000 triliun, sehingga seharusnya anggaran kesehatan Indonesia adalah 350 triliun per tahun. Nyatanya, pemerintah hanya mengalokasikan 34 triliun pada tahun 2013. Jumlah ini bahkan kurang dari 10% dari jumlah yang direkomendasikan WHO.
Konsekuensinya, Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2011 tercatat baru ada 9212 Puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa kecamatan memiliki lebih dari 1 Puskesmas, tapi sebagian besar kecamatan masih belum memiliki satu pun pusat kesehatan masyarakat pemerintah ini. Angka statistik tertinggi yang mencerminkan kurangnya ketersediaan fasilitas ini terdapat di Papua, yang mencapai 40%.

Dari data yang sama, BPS juga menyebutkan dari 9212 Puskesmas tadi, 8480 yang tersebar di 5899 kecamatan memiliki dokter umum. 732 Puskesmas di 684 kecamatan masih belum mempunyai dokter umum.
Beberapa pengamat menyebutkan bahwa hingga awal tahun 2014, infrastruktur kesehatan di Indonesia dirasa masih belum siap untuk menjalankan program BPJS. Sebab, menurut statistik tahun 2011, baru ada 46.986 rumah sakit kelas tiga dan 2.375 rumah sakit yang memiliki ICU. Ini masih sangat sedikit dibanding jumlah populasi Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa.
Infrastruktur, Teknologi, dan Sumber Daya Manusia
Untungnya, ada secercah harapan yang ditunjukkan pemerintah Indonesia. Mereka telah bersiap-siap menyediakan pelayanan kesehatan yang lebih memadai buat masyarakat dalam 5 tahun ke depan. Pemerintah sekarang punya tiga rencana dasar: pengembangan tenaga kesehatan dari 2011 hingga 2025, perbaikan sistem BPJS yang saat ini masih dalam perkembangan, dan pemekaran infrastruktur kesehatan.
GE Healthcare mendukung upaya pemerintah dalam menyiapkan teknologi dan pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia. Dave Utama, CEO dan President GE Healthcare ASEAN dalam acara GE Healthcare Innovation Forum lalu mengatakan Indonesia adalah konsumen terbesar GE Healthcare di ASEAN. Kebutuhan kesehatan yang sangat tinggi membuat GE ingin mengembangkan bisnis healthcare di Indonesia 5 kali lipat dalam 4 tahun ke depan. Dibanding negara ASEAN lain, tahun ini Indonesia telah menyumbangkan angka 30% sendiri dari total keseluruhan bisnis GE Healthcare di ASEAN, dan menjadi pasar yang paling berkembang pesat di ASEAN saat ini.
Tidak hanya dalam teknologi, GE melalui AHLI (ASEAN Healthcare Learning Institute) juga membantu Indonesia mempersiapkan tenaga medis yang akan memenuhi kebutuhan kesehatan tanah air. Sampai saat ini GE telah menyelenggarakan lebih dari 70 pelatihan kesehatan untuk lebih dari 750 tenaga medis di Indonesia. GE Healthcare juga bekerjasama dengan POGI (Perkumpulan Obstreti dan Ginekologi Indonesia), PDSRI (Persatuan Dokter Radiologi Indonesia), PERKI (Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia), dan PARI (Perhimpunan Radriografer Indonesia) dalam memberikan pelatihan-pelatihan kesehatan dan penggunaan teknologi medis.
Kenyataannya, Indonesia yang terdiri dari 18,000 pulau dan penduduk sebanyak lebih dari 240 juta jiwa membutuhkan sebanyak mungkin fasilitas dan tenaga kesehatan supaya mereka bisa disebar merata ke seluruh wilayah. Target yang berat memang, tetapi sudah seharusnya dicapai demi kesehatan masyarakat di Indonesia yang lebih baik.