Skip to main content
×

GE.com has been updated to serve our three go-forward companies.

Please visit these standalone sites for more information

GE Aerospace | GE Vernova | GE HealthCare 

header-image

Teknologi GIS untuk Gardu Induk yang Lebih Efisien

January 24, 2018
Gardu Induk (GI) sebagai stasiun transit di antara pembangkit listrik dan kanal distribusi ke konsumen kini telah mengalami tren digitalisasi terkait penggunaan komponen dan sistemnya. Tren ini seiring tuntutan kebutuhan sistem substation atau GI yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Contoh pertama adalah pada penggunaan kabel.
Dengan sistem digital, teknologi ini bisa mengurangi 80-90 persen pemakaian kabel, karena penggunaan kabel untuk keperluan telesignalling diubah menggunakan fiber optic yang dapat mengirimkan seluruh sinyal dalam bentuk format data digital, sehingga kapasitas pengiriman informasi telesinyal pun lebih besar daripada kabel tembaga.

Otomatis ruangan yang dibutuhkan juga berkurang 10-20 persen. Dari perubahan itu, instalasi juga bisa lebih cepat; karena lebih compact. Berikutnya, dari sisi fitur, dengan digitalisasi bisa lebih unggul karena otomatisasi networking di dalam suatu substation.

Bicara tentang mentransformasikan gardu induk konvensional menjadi digital, bisa dilakukan dengan solusi yang ditawarkan GE Indonesia, yaitu Gas Insulated Switchgear (GIS).

“Teknologi GIS ini sebetulnya sudah lama masuk Indonesia, yakni sejak 1980-an. Yang pertama itu teknologi GIS konvensional. Kami sudah menyuplai banyak teknologi ini ke berbagai Gardu Induk di Indonesia, yang kini masih beroperasi,” ujar Liasta Singarimbun, Country Executive GE Energy Connections.

Lebih lanjut lagi, Roy menjelaskan bahwa teknologi GIS bisa sangat membantu pihak yang bergerak di bidang kelistrikan, dengan penggunaan bidang tanah atau bangunan untuk Gardu Induk yang jauh lebih kecil, jika dibandingkan dengan yang tanpa GIS.

“Pada umumnya, Gardu Induk yang ada itu non-GIS, seperti Gardu Induk Air Insulated Switchgear (AIS), yang bisa makan tempat setidaknya 5000m persegi, atau setengah hektar. Jadi, penggunaan lahannya memang masif,” ungkap Liasta.

Kini, Gardu Induk dengan teknologi AIS sudah mulai dialihkan ke teknologi GIS yang konvensional. Teknologi GIS konvensional sudah bisa menjawab persoalan lokasi atau lahan ini. “Yang jelas, GIS menjawab isu besarnya tempat, karena GIS sangat compat. Sehingga untuk area yang dibutuhkan, GIS hanya perlu tidak sampai setengah luas dari Gardu Induk AIS,” imbuh Liasta.

Disebutkan juga oleh Roy, Gardu Induk dengan teknologi GIS sudah bisa menjawab kebutuhan PLN untuk melistriki wilayah kota besar, seperti DKI Jakarta. “Karena lahan di kota besar sudah sulit didapatkan. Kalaupun bisa kita dapatkan, harganya pasti sangat mahal. Jadi, jika PLN ingin membebaskan tanah tersebut, salah satu kesulitannya adalah masyarakat tidak mau menjualnya. Andai pun mau, pasti akan minta harga tinggi, apalagi jika mereka ketahui akan dipakai oleh Negara,” urai Liasta Singarimbun.

Selain GIS versi konvensional, kini juga sudah ditawarkan teknologi barunya, yaitu GIS digital buat Gardu Induk listrik. Ada banyak keunggulan dari pemakaian Gardu Induk GIS digital, dan salah satunya tetap tentang besaran peralatan yang kini makin kecil 10 sampai 20 persen dari GIS konvensional. “Dengan peralatan yang makin kecil atau sedikit, maka pemakaian lahan pada Gardu Induk GIS digital pun makin ringkas lagi, sehingga lebih efisien juga,” tutur Liasta.

Menurut Benny Yulzardi, Unit Managing Director, Grid Automation Indonesia, GE Grid Solution, pada kegiatan terpisah juga sempat menyebutkan kalau teknologi ini bisa diimplementasikan di tempat seminim mungkin, seperti ruko; di mana transformer-nya bisa di lantai 1, ruang kontrol di lantai 2, dan substation automation di lantai 3. Personal yang dibutuhkan untuk menjaga Gardu Induk ini pun tidak banya.

Selain soal efisiensi penggunaan lahan, Benny juga mengutarakan bahwa teknologi ini bisa mengurangi 80-90 persen pemakaian kabel, karena penggunaan kabel untuk keperluan telesignalling diubah menggunakan fiber optic yang dapat mengirimkan seluruh sinyal dalam bentuk format data digital, sehingga kapasitas pengiriman informasi telesinyal pun lebih besar daripada kabel tembaga.

“Otomatis ruangan yang dibutuhkan juga berkurang 10-20 persen. Dari perubahan itu, instalasi juga bisa lebih cepat, Karena lebih compact,” ujar Benny. Soal instalasi yang praktis ini juga disebutkan Roy Kosasih sebagai salah satu keunggulan teknologi GIS digital. Sehingga membuat tahap perancangan sampai pembangunannya relatif lebih cepat dituntaskan.

Disebutkan juga oleh Liasta, “Kalau dulu, untuk membangun Gardu Induk listrik harus menarik kabel panjang, bahkan bisa sampai ribuan kilometer; tapi kini, dengan GIS digital, isu kabel bisa teratasi, karena sudah digantikan dengan fiber optic; yang mampu memuat ratusan lajur arus komunikasi di antara peralatan yang satu dengan lainnya. Isu kabel yang teratasi ini juga yang membuat proses pembangunan Gardu Induk jadi lebih cepat,” paparnya.

Ia lalu melanjutkan, kalau GIS digital pun berorientasi pada solusi untuk mencapai berbagai efisiensi di berbagai aspek, seperti Asset Performance Management, Operations Optimization, sampai Business to Business Optimization. Dan dengan inovasi ini pula, masalah downtime bisa diatasi lebih baik lagi. Sinkronisasi berbagai aset yang digunakan pun didukung analisis data sepanjang 24 jam selama 7 hari.

Dengan demikian, visibilitas aset jadi lebih terjaga, dan jika ada masalah pada jaringan listrik atau peralatan, bisa lebih mudah teridentifikasi; sehingga persoalan yang muncul bisa dipecahkan lebih cepat, pada titik yang tepat.

GIS digital juga bisa memberikan rekomendasi, menganalisis, dan memberikan forecast untuk membuat keputusan berbasis data. Selain itu juga, bisa untuk mendeteksi anomali, sehingga membuat perawatan dan pengelolaan alat lebih efisien, dan mengurangi pekerjaan perbaikan yang perlu dilakukan. Dengan demikian, produksi listrik lebih andal dan bisa mendukung upaya mencapai pasokan listrik 35.000MW yang dicanangkan pemerintah.