Skip to main content
×

GE.com has been updated to serve our three go-forward companies.

Please visit these standalone sites for more information

GE Aerospace | GE Vernova | GE HealthCare 

header-image

Mendukung Solusi bagi “Duet” Bayu-Surya

Lukya Panggabean
November 21, 2018
Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (PLTH) dianggap sebagai salah satu solusi yang bisa meningkatkan rasio elektrifkasi bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Menyadari ini, sejak 2012, pemerintah Indonesia telah memulai pembangunan, dan sekarang, setidaknya ada 22 PLTH dengan total kapasitas sebesar 60 megawatt.
“PLTH sedang menjadi tren global. Diharapkan dengan sistem hibrida hasilnya akan maksimal. PLTH ada yang merupakan kombinasi pembangkit EBT listrik (Energi Baru Terbarukan) dengan pembangkit konvesional atau keduanya bersumber dari EB ,” kata Abadi Purnomo, Anggota Dewan Energi Nasional, kepada GE Reports.

Menurut Faturohman, Ketua Bidang Pengembangan dan Kajian Strategis MKI (Masyrakat Ketenagalistrikan Indonesia, soal kombinasi ideal tergantung lokasi, kapasitas produksi dan juga keekonomiannya.

“Yang penting jika ingin membangun PLTH, dalam FS (feasibility studyproject dicantumkan beberapa opsi. Nah yang paling ekonomis yang dipilih. Kalau memang ekonomis memakai EBT dua-duanya ya tidak apa-apa,” katanya kepada GE Reports.

Bagi beberapa kalangan dan praktisi, PLTH yang kedua sumbernya dari 2 jenis EBT merupakan kategori yang paling ramah lingkungan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Tenaga Bayu Indonesia (ATBI), Ifnaldi Sikumbang, mengakui, PLTH yang kedua sumbernya hasil “duet” dari EBT memang cara yang efisien dan berkelanjutan dibandingkan kombinasi EBT dan konvenisonal atau fossil fuel.

“Salah satunya adalah duet antara PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) dan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya),” tegasnya kepada GE Reports.

Mengapa bayu dan surya?

Ifnaldi menjelaskan, potensi energi angin (bayu) Indonesia tidak sebagus negara subtropis yang kecepatan anginnya 2 digit yaitu 10 m/detik lebih. Potensi itu hanya berkisar 4-8m/detik. Sebaliknya sebagai negara tropis, Indonesia memiliki energi surya dengan tingkat radiasi di atas negara negara subtropis seperti negara-negara di benua Eropa.

Sedangkan dari laporan IRENA tahun 2017 menyebutkan potensi energi surya Indonesia mencapai 3,1 GW per tahun, dimana 1 GW untuk listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS yang dibangun di atas tanah

“Jadi saya pikir lokasi-lokasi dengan kecepatan angin 5m/detik ke atas sangat cocok dikembangkan PLTH berbasis energi bayu dan surya agar melengkapi dan kapasitasnya bisa tambah besar sehingga eknonomis,” tuturnya.

Secara efisiensi lokasi, duet bayu-surya bisa dieksplorasi di area yang sama atau tumpang sari. Bahkan kalau kita lihat PLTH Bantul Padaksimo, lanjut Ifnaldi, di bawahnya ada kolam ikan juga sehingga dalam satu lokasi ada 3 pemanfaatan. Hal ini menjadikan efektifitas dan kapasitas terpasang lokasi PLTH bayu dan surya bisa terpenuhi.

“Efisiensi lokasi ini cukup penting karena berpengaruh pada efisiensi dan keseimbangan beban yang berdampak terhadap perekonomian,” imbuhnya.

Tapi sebagaimana yang diketahui, menurut Ifnaldi, sumber EBT memiliki beberapa kekurangan jika ingin dipasok secara konstan. Walau bayu dan surya adalah energi yang tak akan habis, keduanya memiliki sifat intermittent yang bergantung pada kondisi cuaca.

“Misalnya kalau cuaca mendung atau hujan kan sel surya gak bisa serap panas, dan kalau angin gak kencang, bilah turbin angin bisa tak bergerak. Jadi baiknya PLTH juga dilengkapi sumber cadangan lain,” tambah Ifnaldi.

Sumber cadangan itu seperti alat penyimpanan baterai atau non baterai. Ifnaldi menyarankan jika memakai baterai harus dilihat keandalannya jangan asal murah saja. Ini agar PLTH bisa menjamin tersedianya listrik selama 24 jam/ hari sekalipun ada downtime.

“Saran saya pembangkit hibrida ini di-backup dengan baterai ( Lead Acid Battery ) atau dengan ESS (Energy Storage System) berbasis Lithium Ion Battery yang masa pakainya bisa diatas 15 tahun. Namun begitu, jika masih dirasa masih mahal untuk, terpaksa generator diesel adalah pilihan praktis terakhir,” ujarnya.

Solusi WiSE

Di sisi lain, Ifnaldi menyatakan secara teknis hasil listrik dari dari turbin angin dan photovoltaic adalah arus searah atau dikenal Direct Current (DC). Karena alat-alat eletronik rumah tangga itu adalah arus listrik bolak-balik (Alternating Current), maka perlu dipasang inverter pada masing-masing tempat penyaluran listrik.

“Perangkat seperti ini juga perlu diperhatikan. Kita harus terus meng_update terus teknologinya,” kata Ifnaldi.

Terkait hal ini, GE mempunyai solusi bernama "Wind Integrated Solar Energy" (WiSE). Solusi ini bisa pemilik menggabungkan listrik dari angin dan matahari secara mandiri.

Menurut, MorisTarigan, Country Leader GE Power Converstion, sistem WiSE ini dapat mengintegrasikan listrik pada tingkat turbin angin memanfaatkan konverter angin yang ada sebagai konverter hibrida untuk sumber daya AC dan DC bersama-sama dengan menghilangkan kebutuhan untuk inverter PV yang terpisah.

“Biasanya kan masing-masing sumber energi dipasangi converter. Kalau sekarang cukup satu converter digabungkan,” ujarnya.

Ini karena solusi WiSE dilengkapi dengan desain Hybrid Control & SCADA yang mengelola dan mengontrol energi angin dan matahari. Pemisahan sumber metering terpisah memungkinkan Perjanjian Jual Beli (PJB) listrik secara mandiri.

“Jadi dari cukup satu converter tadi bisa menurunkan CAPEX, OPEX dan AEP yang lebih tinggi agar lebih stabil. Selain itu akan ada peningkatan LCOE di PLTH dan layanan komprehensif dari GE untuk sistem angin dan matahari,” tuturnya.

Namun begitu, ia memberi catatan, dalam penerapan PLTH yang menggunakan solusi ini juga harus disertai kajian yang mendalam akan karakteristik alam pada lokasi PLTH. “Karena karakteristik alam yang paling “mendukung” juga menentukan keekonomian PLTH,” ujarnya.