Skip to main content
×

GE.com has been updated to serve our three go-forward companies.

Please visit these standalone sites for more information

GE Aerospace | GE Vernova | GE HealthCare 

header-image

Layanan Kesehatan Mumpuni dan Terjangkau Bisa Tekan Angka Kematian Ibu

February 12, 2018
Akses terhadap persalinan yang aman harusnya jadi hak buat perempuan melahirkan, bukan kemewahan. Hal itu ditegaskan juga oleh Leslie Mancuso, Presiden dan CEO Jhpiego, lembaga nirlaba yang berafiliasi dengan Universitas John Hopkins, “Seharusnya tak ada perempuan yang meninggal ketika mengantarkan kehidupan baru,” tandasnya.
Karena, pada kenyataannya masih banyak ibu yang meninggal akibat melahirkan, baik Indonesia pun di seluruh dunia. Menurut WHO, satu orang perempuan meninggal tiap menit, karena komplikasi yang terkait kehamilan, dan 15 juta orang menderita cacat karena kelahiran tiap tahunnya.

Persoalan angka kematian ibu dan bayi di Tanah Air


Di Indonesia sendiri, walaupun tren kematian ibu dan bayi menurun, tapi tingkat kematiannya masih tergolong tinggi. Menurut data Kementerian Kesehatan, pada semeter pertama 2017, tercatat ada 1.712 kasus kematian ibu (dari sebelumnya, 4.912 pada 2016, dan 4.999 kasus pada 2015).

Sementara untuk kematian bayi, pada 2015 ada 33.278 bayi meninggal, lalu menurun menjadi 32.007 bayi; dan tercatat ada 10.254 kasus kematian bayi per semester pertama 2017. Meski merosot, berbagai upaya masih terus dilakukan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi.

Hal ini pula yang jadi salah satu sasaran Sustainable Development Goals (SDG) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Baik SDG pun RPJMN menggunakan parameter angka kematian ibu (AKI) per 100 ribu kelahiran, untuk mengukur pencapaian usaha. Sasaran SDG secara global adalah 70 kematian per 100 ribu kelahiran; sedangkan RPJMN mencanangkan target 306 kematian ibu per 100 ribu kelahiran hidup.

Sebetulnya, data Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 1994 menunjukkan bahwa angka kematian ibu di Tanah Air pernah mencapai 390 per 100 ribu kelahiran hidup; bahkan menurun sampai 228 per 100 ribu kelahiran. Sayangnya, tren positif itu berhenti, dan AKI kembali naik jadi 359 per 100 ribu kelahiran pada 2012.

Memang, pada data lain dari survei antar sensus (SUPAS) 2015, AKI sempat turun lagi jadi 305 per 100 ribu kelahiran hidup, yang sebetulnya sudah memenuhi target RPJMN (306); namun angka itu masih terlalu tinggi dan jauh dari sasaran yang ditetapkan SDG (70).

Upaya menekan tingkat kematian ibu


Menurut data UNICEF, pendarahan (hemorrhage) merupakan penyebab terbesar kematian ibu ketika melahirkan (27 persen), diikuti hipertensi (14 persen), dan sepsis (11 persen). Dan untuk mencegahnya, diperlukan pekerja kesehatan terlatih, dengan perlengkapan memadai. Kalau terjadi komplikasi, tenaga kesehatan harus bisa cepat merujuk ibu melahirkan ke pelayanan obstetri darurat.

Dari 136 juta perempuan yang melahirkan tiap tahun, 30 persen di antaranya memerlukan intervensi medis atau bedah. Padahal menurut studi The Lancet pada 2015, sekitar 5 miliar orang dari total 7 miliar penduduk bumi, tidak memiliki akses terhadap pelayanan bedah dan anestesi yang aman, di tempat memadai.

Selain itu juga, faktor-faktor lain yang menghalangi perempuan mendapatkan perawatan layak saat kehamilan sampai persalinan adalah isu kemiskinan, jarak, hingga minimnya informasi kesehatan ibu hamil.

Maka itu, ada inisiatif seperti Safe Surgery 2020, yang merupakan langkah komprehensif untuk membantu ketersediaan pelayanan kesehatan terjangkau untuk ibu hamil. Program ini dijalankan oleh kemitraan Jhpiego, Assist International, Harvard Program for Global Surgery and Social Change, beserta Kementerian Kesehatan, Biro Kesehatan Daerah, sampai asosiasi profesional dan universitas.

Inisiatif yang didanai GE Foundation ini bertujuan untuk membuat pelayanan bedah dasar dan darurat yang memadai tersedia di daerah-daerah terpencil. Untuk aktivasinya, saat ini memang baru aktif di Ethiopia dan Tanzania, tapi rencananya program ini juga akan masuk ke Asia Tenggara, tahun ini.

Sementara upaya serius juga dilakukan pemerintah, melelaui Kementerian Kesehatan. Dalam sesi wawancara dengan GE Reports Indonesia, Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes Dr. Eni Gustina MPH menyatakan, pemerintah sudah menyediakan berbagai program, fasilitas, serta tenaga kesehatan hingga di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau untuk menekan lemahnya kesadaran dan pengetahuan perempuan terkait risiko pra dan pascapersalinan.

Namun, ia juga menekankan bahwa kesadaran publik dan peran serta pihak swasta menjadi vital untuk memastikan keberhasilan usaha ini. “Angka kematian ibu dan bayi masih mencapai rata-rata 400 kasus per bulan, dan pemerintah tidak bisa sendirian mengatasi persoalan ini,” tandas Dr. Eni dari Kemenkes.